Wednesday, August 10, 2011

Fun Facts about Utrecht (1): Rietveld Schröder House

Oke, kurang adil rasanya saya menyebut-nyebut lebih suka Leiden daripada Utrecht tanpa mengeksplorasi Utrecht terlebih dahulu. Oleh karena itu, saya akan mencoba menulis beberapa hal menarik yang saya temui di Utrecht. Berhubung saya harus segera mengerjakan tugas kedua yang ditumpuk besok, rasanya bagian Fun Facts about Utrecht ini harus saya tulis dalam bentuk serial. Enjoy the first part! :)

***

Tugas pertama yang harus kami lakukan tidak hanya cukup dengan berjalan-jalan, kami juga harus mempresentasikannya di kelas. Dalam rangka mengerjakan slide presentasi tersebut, kami berkumpul di asrama Nicola & Gabriella: University College Utrecht. Mereka selalu berjalan dari asrama ke kampus (kawasan Drift) vice versa jadi 'katanya' sih dekat sehingga saya oke2 saja diajak berjalan kaki rame-rame, tapi ternyata ... jarak itu memang relatif ya -_-" Untungnya setelah melewati pinggir pertokoan yang seakan tak kunjung usai, kami segera didinginkan dengan pemandangan Wilhelmina Park yang menenangkan ....

(skyskrapercity.com)

Begitu Wilhelmina Park terlewati, kami menyusuri jalan bernama Prins Hendriklaan dan Nicola kemudian bercerita tentang salah satu bangunan di jalan ini yang masuk ke dalam daftar World Heritage Sites - Unesco. Sambil terus berjalan saya dan Emily disuruh menebak bangunan yang manakah itu? Pada awalnya itu tebakan yang sulit karena sepanjang jalan itu berisi rumah-rumah antik nan cantik yang rasanya pantas-pantas saja masuk daftar WHS itu. Kemudian tebakan menjadi lebih mudah ketika ada cukup banyak orang berfoto-foto di depan rumah di ujung jalan. Rumahnya kayak apa justru belum kelihatan, tapi Nicola mengiyakan ketika saya dan Emily menunjuk bangunan di ujung jalan itu (berdasarkan adanya kerumunan orang). Siapa sangka setelah dilihat lebih lanjut rumahnya 'cuma' kayak gini???

Rietveld Schröder House

Come on, Belanda cuma punya 9 Unesco WHS (hasil googling kemudian) dan salah satunya 'cuma' kayak gini?? xD Setelah Nicola menjelaskan bahwa itu dibangun di tahun 1920-an (sliding walls in 1924!), saya pikir itu mulai masuk akal. Tapi kalau mau jujur, saya lebih terkesima dengan asramanya si Nicola daripada dengan si Rietveld Schröder House. Ini dia bentuknya ...


Bandingkan dengan asrama saya! Ngeces2 saya+Emily melihatnya x)

Doa Itu Harus Eksplisit

Membaca-baca tulisan lama saya di blog ini menyebabkan saya tersenyum ketika menemukan ini:

S2 di Belanda juga rasanya makin jauh dari jangkauan. Les dapet selevel aja terus berhenti. Mimpinya sudah turun level jadi bersepeda-di-Belanda saja :p Atau paling nggak short course di sana gitu. Kalau bisa beasiswa, tapi mbayar sebenarnya saya juga mau2 saja kok *duite sopo???*

Saya menulis itu pada 1 Februari 2010. Rupanya tidak butuh lebih dari setengah tahun salah satu mimpi itu terkabul melalui tangan NESO.

Tulis mimpi Anda dengan pensil, insya Allah Tuhan akan menebalkannya dengan lebih baik dan indah - Iman Usman

Yes, God works in mysterious ways :)

Tuesday, August 09, 2011

Maen ke Leiden

Sebenarnya summer school ini akan lebih sempurna tanpa tugas dan ujian. Total ada 2 tugas dan 1 ujian akhir yang harus dilalui di sini. Untungnya tugas pertama bisa dibilang sangat menyenangkan: JALAN-JALAN! :D

You will be divided into groups of 3--4 students. With your group, visit one of the Dutch cities on the list below. Walk around the city centre and visit the museum. If possible, make pictures.

Dengan pilihan Alkmaar, Delft, Den Bosch, Enkhuizen, Rotterdam, Haarlem, dan Leiden, saya sudah tahu akan memilih apa ...


LEIDEN!

Masih ingat kan tentang doktrinasi dosen bahasa Belanda saya tentang mahasiswa Ilmu Budaya yang harus pernah menuntut ilmu sampai ke Utrecht dan Leiden? Berhubung sudah pernah merasakan sekolah di Utrecht, paling tidak saya harus menjejakkan kaki di Leiden. Saya ke sana bersama tiga orang lain: Nicola & Gabriella dari Italia (they're couple!) serta Emily dari Taiwan yang juga sekolah di USS bersama pacarnya (kelompok lain). Ckck, pacaran mereka edukatif sekali ya? :D

Friendly adalah kesan pertama yang saya dapat dari Leiden. Saya suka dengan tata kotanya yang meletakkan Visitor Centre persis di gedung sebelah pintu keluar Leiden Centraal Station. One day tripper seperti kami berempat jadi punya pedoman yang jelas harus ke mana begitu keluar dari stasiun kereta. Euh, saya malah tidak tahu di mana letak Visitor Centre Utrecht :|

peta antinyasar yang diambil dari Visitor Centre Leiden

Berhubung agak mendung, kami memutuskan untuk putar-putar kota dulu baru masuk ke museum (mumpung belum hujan). Pilihan yang tidak begitu tepat sebenarnya karena di museum terakhir saya hanya punya waktu sekitar satu setengah jam untuk berkeliling di sebuah museum buesar bertarif 9 Euro, hiks (every second counts!). Bangunan pertama yang kami kunjungi di sini adalah De Burcht, benteng yang dibangun di atas bukit buatan yang di masa sekarang digunakan sebagai gardu pandang ke penjuru Kota Leiden.

Pintu masuk De Burcht (leiden-omslag.blogspot.com)

Dari De Burcht kami berkeliling di sekitar Pieterskerk, Latin School (sekolahnya Rembrandt), dan The American Pilgrim Museum serta memasuki dua museum: Stedelijk Museum De Lakenhal dan Rijksmuseum van Oudheden.

Pieterskerk

Latin School

The American Pilgrim Museum

The Museums

Karena sedang banyak renovasi, masuk ke Stedelijk Museum De Lakenhal ini gratis (asyik!). Koleksinya kebanyakan lukisan-lukisan Rembrandt & murid-muridnya, serta sejarah Leiden dan tekstilnya. Di sini memotret koleksi museum sama sekali tidak diperbolehkan.

Stedelijk Museum De Lakenhal

Sedangkan untuk masuk Rijksmuseum van Oudheden saya harus membayar 9 Euro (yang sudah saya ceritakan tadi). Andaikan saya nggak kelupaan bawa student card sebenarnya bisa jadi bayar 5,5 Euro saja (argh!). Konon mahasiswa arkeologi malah bisa masuk gratis ke sini. Kenapa? Karena museum ini memang museumnya Universitas Leiden yang mengkhususkan diri pada arkeologi. Dengan satu setengah jam yang tersisa, jujur, susah sekali rasanya memperhatikan benar-benar kesemua koleksi dari Mesir, Roman, Yunani, Timur-Tengah, dan Belanda tempo doeloe yang buanyaak sekali itu. Yang saya suka dari museum ini adalah banyaknya media penunjang yang dapat ditemukan di pojok-pojok museum seperti ini ...

Boleh foto-foto, tapi tanpa flash

Selain mengunjungi museum saya juga mampir ke Universitas Leiden dan membeli beberapa souvenir di situ. Universitas Leiden merupakan universitas tertua di Belanda (1575). Konon setelah berhasil mengusir tentara Spanyol dari Leiden, rakyat Leiden diberi dua pilihan hadiah dari William van Oranje: dibebaskan dari pajak atau dibikinin universitas. Dan inilah pilihan rakyat Leiden ...

Leiden University - Academy Building :)

buying souvenirs = one step closer to be a Leiden University student :p

Dan tibalah saatnya kami harus pulang. Kami berempat setuju lebih suka Leiden daripada Utrecht :p Kotanya cantik, kecil, ke mana-mana terjangkau. Di sini burung juga kesannya lebih banyak. Sampai-sampai waktu jalan-jalan kami papasan dengan seseorang yang baru saja kejatuhan eek si burung. Ouchhh, kami nyaris kena.

Bye-bye, Leiden ....

Di Belanda dengan Jilbab di Kepala

Sewaktu film Fitna booming di mana2 terutama Indonesia, saya termasuk golongan yang apatis. Sementara teman-teman berlomba menanyakan "Udah nonton Fitna?", saya cuma geleng-geleng kepala. Dibombardir dengan sekilas-sekilas tayangan di televisi nasional buat saya sudah cukup. Rupanya saya tidak bisa mengelak selamanya karena seminar sesi kedua hari Kamis kemarin ditutup dengan sedikit pembuka film Fitna tersebut.


Euhh ... tu kan ...

Iris, salah satu teman yang berasal dari Taiwan bahkan sampai shocked dan harus meninggalkan kelas saking ngerinya dengan apa yang ditayangkan di depan kelas. Dan bagi saya yang jadi satu-satunya cewek berjilbab di situ ... It's too offensive.

Saya percaya setiap ideologi punya ekstrimis masing-masing. Anders Behring Breivik yang sudah membunuh 90+ orang di Norwegia akhir Juli lalu menjadi bukti terbaru untuk hal itu. Lalu apa kabar saya dengan jilbab di kepala dan berada di negara tempat booming film Fitna itu berasal?

1. Hari kedua di sini, saya membeli es krim di gerai Venezia dan memesan Tiramisu Ice Cream. Begitu melihat saya berjilbab, si mbak2 Belanda yang jualan menyarankan saya membeli Cappuccino Ice Cream saja karena bebas alkohol dan toh rasanya nyaris sama. (Nice!)

2. Beberapa kali saya disapa dengan "Assalamu'alaikum" oleh orang2-entah-siapa dan saya selalu menjawab "Wa'alaikumsalam" dengan perasaan hangat yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Mirim, teman Korea saya, sampai bertanya "Do you know him?", ketika saya disapa sesosok lelaki superkekar di Utrecht Centraal :D

Tulisan kali ini akan saya tutup dengan pendapat Sri Mulyani yang saya baca di Intisari:

Obrolan tentang multikulturalisme yang keluar dari mulut seorang muslim Jawa yang tinggal di Indonesia itu omong kosong!

Rasanya berada di sini saya baru bisa mengerti.

senaz.blogsome.com

P.S. Sebelum ke sini saya nyari buku di atas, tapi belum nemu, euy!

Sunday, August 07, 2011

Hura-Hura dengan Makanan Indonesia

apple strudel (1,5 Euro) > terlalu manis

burger ayam (2,75 Euro) > agak hambar

Makanan terenak yang saya makan selama empat hari pertama di sini adalah mie gelas yang saya bawa dari Indonesia -_-" Sampai saya menemukan ini:

senengnya pas bayar di kasir bisa ngomong: "Meja tiga belas!" :D



Di sini makanan Indonesia terkenal enak sehingga dibandrol mahal. Kesemua restoran nan mahal itu pun belum tentu asli Indonesia. Kadang nama Indonesia dicatut untuk restoran yang aslinya berasal dari Thailand, misalnya. Mesti pinter milih-milih mana restoran Indonesia yang enak dan mana yang hasil catutan.


Beruntung saya bertemu Bu Kiki Kushartanti, dosen Linguistik UI yang saya ajak ketemuan di Utrecht sini. Toko Mitra ini merupakan rekomendasi dari beliau, letaknya di Lange Viestraat, cukup dekat dengan kampus. Di Toko Mitra saya memesan es kelapa muda dan tahu telor met lontong yang sudah disesuaikan dengan porsi bule. Saya cuma berhasil menghabiskan separo dan sisanya saya bungkus pulang alias meenemen (take away).

tahu telor met lontong (6,5 Euro + 1,35 Euro = 7,85 Euro)

Es kelapa muda basa-basi (2,1 Euro)

Tahu telornya enaaak, tapi es kelapa mudanya agak mengecewakan, mungkin karena saya udah keburu berharap bakal disodori kelapa utuh tinggal ngerok sendiri gitu, hehe. Meskipun tetep nggak bisa dibandingin sama yang di negeri sendiri, ini adalah makanan terenak dan TERMAHAL yang saya makan di sini. Toko Mitra juga berjualan pop mie, indomie, dan bahan-bahan makanan lain yang sangat familiar di Indonesia. Jadi bukan hal mustahil lagi kalau saya ingin memasak makanan Indonesia seautentik mungkin di asrama. 

Should I?

Friday, August 05, 2011

Beneluxlaan

Saya semacam witing tresna jalaran saka kulina dengan asrama saya di sini. Hari pertama saya tiba di sini, beuhh.... udah bauk (pake k), jorok, dekil, jauh dari kampus lagi! Rasanya kok seperti dibohongi oleh gambaran luar negeri di tivi-tivi yang terkesan bersih dan semerbak mewangi. Bahkan ada teman sekelas saya, yang SUDAH MEMBAYAR untuk asrama ini, memutuskan untuk pindah dan tinggal bersama temannya di tempat lain. Tapi, saya pikir, okelah, saya juga bukannya lagi liburan dan menetap di hotel kok. Pengurus gedung tentunya menganggap kami para pelajar yang udah gedhe dan mandiri, udah ngerti caranya bersih-bersih dan bertanggung jawab bersama untuk itu. Toh hari kedua sepulang dari kampus... tadaaa... fasilitas bersama seperti kamar mandi dan dapur mendadak lebih kinclong dan kami tinggal ngurusin kamar masing-masing. 

Masalah bauk-jorok-dekil sudah teratasi. Masalah jauh? Sepertinya ini sudah tidak bisa diapa-apain lagi. Sebagai peserta Utrecht Summer School (USS), mau ditempatkan di asrama mana memang sepenuhnya ditentukan oleh takdir. Pengen dapat asrama yang bisa dicapai dengan jalan kaki dari kampus? You have to be very lucky! Pada awalnya saya pikir masalah jarak ini relatif. Idealnya saya memang harus naik trem dari asrama ke kampus vice versa, tapi itu cuma sebentar sekali. Jadi kok kayaknya asrama saya nggak jauh amat-amat ya, apalagi ketika saya mendapati fakta bahwa:

(1) Kampus letaknya tidak jauh dari Dom Tower.
(2) Dari jendela kamar saya bisa melihat Dom Tower.

Dom Tower kelihatan = dekat (???)

Dengan mempertimbangkan silogisme di atas, pada hari kedua saya tergoda untuk berjalan kaki dari kampus ke asrama sendirian. Pikir saya waktu itu, saya bisa sekalian meresapi kehidupan warga lokal dari dekat, menghemat ongkos transportasi, dan terhindar dari menaiki trem setiap hari sepertinya cukup menyenangkan. Saya melupakan fakta bahwa:

(1) Trem punya jalur sendiri dan jalannya sangat cepat.
(2) Saya bisa melihat matahari, tapi tidak berarti matahari itu dekat.

Walhasil saya nyasar di perumahan yang sepi entah di mana. Beneluxlaan, lokasi asrama saya, bahkan tidak tercantum jelas di peta yang saya tenteng-tenteng sore itu (Argh, accio smartphone!). Kalau dihitung, total ada sepuluh orang yang saya tanyai. Orang pertama yang saya tanyai tidak bisa bahasa Inggris sama sekali yang kemudian mengoper saya kepada orang kedua yang juga tidak bisa. (Apa kabar artikel saya tentang orang Belanda yang multilingual? Haha) Orang kedua mengoper saya kepada orang ketiga yang agak terbata-bata menjelaskan bahwa sebenarnya saya sudah dekat, tetapi jembatan ke arah Beneluxlaan ditutup selama sebulan sehingga saya harus memutar cukup jauh. Orang keempat, kelima, dan keenam tidak tahu di mana itu Beneluxlaan. Orang ketujuh rupanya mabuk dan menjawab dengan racauan bahasa Belanda. Orang kedelapan dan kesembilan menjawab 'kayaknya di sana'. Saya sampai cerita kepada orang kesembilan kalau dari kamar saya bisa melihat gedung yang ada tulisannya MAX, tapi dia cuma bilang 'I have no idea'. Orang kesepuluh menggeleng-gelengkan kepala, tapi sangat berbaik hati mencarikan di mana Beneluxlaan melalui smartphone-nya. Setelah orang kesepuluh ini, saya merasa kayaknya saya sudah cukup dekat dengan Beneluxlaan. Dan sampailah saya di sebuah taman yang rasanya pernah saya lihat dari dalam trem: Park Transwijk.

Bebek-bebek lucu

Untuk meredakan frustrasi, saya beristirahat di bangku taman dan menonton bebek-bebek lucu di situ. Ketika saya berdiri dan berniat melanjutkan perjalanan, bebek-bebek itu mengejar-ngejar saya secara berjamaah. Oke, kata 'lucu' tadi saya ralat.

Di sini pun bebek terdidik untuk bersikap asertif!

Setelah berjalan lima menit lagi, terharu sekali rasanya ketika saya melihat bangunan ini:

Beneluxlaan 924 A

Arggghh, akhirnya sampai juga saya di kamar tepat pukul enam, padahal kelas sore itu selesai pukul tiga.


Dengan ini saya tidak akan pulang berjalan kaki lagi.

***
fasilitas kamar yang cukup lengkap

shared bathroom

... dan pintunya

shared kitchen

... dan pintunya -_-"

lift unyu

the one & only internet room

Dan sekarang alhamdulillah saya sudah betah :)

Wednesday, August 03, 2011

Life Begins at the End of Your Comfort Zone

Selamat malam dari Utrecht! :) Maafkan baru ada kabar setelah hari ketiga berada di sini. Dua hari kemarin masih dalam masa-masa adaptasi, dikerjain oleh cuaca yang mood-moodan dan terkaget-kaget dengan pemandangan pukul 9 malam (?) dari jendela kamar yang seperti ini:



Bagi saya yang tinggal di Jogja sejak lahir, pernah pindah rumah sekali pun cuma ke kecamatan tetangga yang jaraknya sekitar 10 km dari rumah lama, bisa merasakan suasana malam yang terang benderang begitu jelas adalah sebuah prestasi, haha. Saya menjalani masa kecil dengan memegang rekor titik terbarat yang pernah saya datangi adalah Sungai Progo dan titik tertimur adalah Solo. Masa remaja sedikit ada peningkatan rekor dengan titik terbarat Jakarta dan titik tertimur Bali. Ya, segitulah cakupan hidup saya selama lebih dari 20 tahun ini :)

Sebenarnya halangan utama saya untuk tidak banyak bepergian adalah bawaan saya sejak lahir yang sangat ndeso, yaitu motion sickness alias mabukan. Nyium bau bis aja mual, apalagi menaikinya. Begitu pula dengan menaiki barang-barang bergerak lain, baik itu kendaraan, wahana semacam kora-kora, maupun sekadar lift :p Katanya sih motion sickness cuma masalah kebiasaan karena banyak cerita tentang orang yang dulunya mabukan lama-lama bisa sembuh karena terbiasa. Tapi kok ya sudah tidak terhitung berapa kali saya 'belajar untuk naik bis', pasti nggak pernah berhasil karena 'proses pembelajaran' itu sama dengan hari-hari penuh kepala berputar dan justru menyebabkan ketidakproduktifan. Walhasil saya memutuskan untuk menyerah dan meminimalisasi penggunaan barang-barang bergerak tersebut. Dan tiba-tiba sekarang... whuzzzzzzzz... meloncatlah saya belasan ribu kilometer jauhnya dari zona nyaman saya selama ini dan 'dicemplungkan' oleh NESO untuk setiap hari harus berkawan dengan kereta, bus, trem, dan semacamnya.

Saya jadi ingat tentang kuliah siang ini yang berjudul Living in the Netherlands, Through Immigrant Eyes:

Choosing a new country to live in, whether to study or work, is almost like marriage.

Butuh sebuah komitmen untuk tinggal di sebuah lingkungan baru, halangan apapun harus bisa dihadapi supaya bisa bertahan, for better for worse. Saya dengan 'musuh-musuh bergerak' saya, beberapa teman yang bete setiap hari karena cuma bisa ketemu pacar sekitar setahun sekali, budaya yang sama sekali lain, homesick, dan apapun kesusahan dan pengorbanan itu cuma kecil dibandingkan dengan sesuatu yang lebih besar yang sedang kita perjuangkan, entah itu penghidupan yang layak ataupun pendidikan yang sangat berkualitas. Kalau masih menghindari naik bis, dll saya nggak akan survive di Belanda. Bodoh namanya kalau saking sayangnya sama pacar dan nggak mau jauh-jauhan, kemudian membuang kesempatan menuntut ilmu di negara lain yang jauh lebih berkualitas. Kalau nggak mau susah kita nggak akan dapat apa-apa.

Jadi, okelah saya akan bermual-mual sedikit menjalani summer course ini, karena, ya ampuuunn, itu mah nggak ada apa-apanya dibanding dengan kesempatan, ilmu, dan pengalaman yang saya dapat di sini :)