Wednesday, January 16, 2013

Let Them Go, Let Them Fly


Belakangan saya sering mengeluhkan sedikitnya waktu yang tersedia untuk membaca buku-buku bagus. "So many books, so little time," kata Eyang Frank Zappa. Ironisnya, dengan keluhan sedikitnya waktu tersebut, ternyata saya tidak terlalu selektif dalam memilih bacaan. Pada kenyataannya saya lebih banyak membaca buku-buku cheesy :D

Tergerak oleh kedatangan sebuah kartu pos bertema Anne of Green Gables karya L.M. Montgomery, saya bertekad untuk mulai lebih banyak membaca buku-buku klasik. Saya memulai dari The Golden Road, masih karya L.M. Montgomery juga. Pilihan yang tidak terlalu tepat karena novel ini ternyata sekuel dari The Story Girl yang belum saya baca. Untungnya The Golden Road ini bukan jenis sekuel yang hanya bisa dipahami setelah kita membaca prekuelnya. Saya cukup mengerti, bahkan sangat menikmati novel ini. Favorit saya adalah cerita tentang seorang tamu yang pura-pura tuli. Cerita ini sukses bikin saya ngekek sampai sakit perut! Ada pula cerita tentang Cecily yang ketika dikirimi surat cinta malah mengembalikan ke pengirimnya setelah sebelumnya mengoreksi tata bahasanya x) I feel you, Dek Cecil :)) Saya baru menyadari kalau saya mudah menyukai buku-buku dengan sudut pandang anak-anak, tetapi ditulis oleh orang dewasa. Karakter anak-anak dalam novel-novel semacam ini (favorit saya Madicken & Lisabet!) cenderung polos-polos lucu.


The Golden Road bercerita tentang masa kecil Beverly dan sepupu-sepupunya di Prince Edward Island, Kanada. Long story short, novel ini diakhiri dengan kepergian Sara Stanley, salah satu sepupu Bev yang jago mendongeng (Sara Stanley = The Story Girl) karena mengikuti ayahnya ke Eropa. Ada banyak sekali detail-detail kecil di novel ini yang cuma disebut sekilas dan sebenarnya sayang kalau tidak dikembangkan: kedekatan Beverly dan Sara Stanley, pernikahan Peter dan Felicity di masa depan, dan yang kayaknya paling banyak bikin sedih pembaca adalah nasib Cecily yang terindikasi kuat berumur pendek.    

Meski indikasi sakitnya Cecily ini memang bikin sedih, bagi saya, yang justru paling bikin sedih adalah kepergian Sara. Setelah melihat kedekatan mereka sepanjang tahun, tahu-tahu kita harus melihat Sara Stanley yang dewasa dan ngemong sepupu-sepupunya ini pergi. Zaman dulu (1913?) ketika berjauhan mereka nggak bisa dengan gampangnya SMS-an "Lagi ngopo kowe, Sar?" Mereka menyadari sepenuhnya bahwa kemungkinan untuk bertemu lagi atau bahkan cuma berkomunikasi sangat minim. Yang bikin sedih adalah sikap nrimo mereka terhadap nasib untuk tidak bertemu lagi itu. Semacam yo uwis, piye meneh. Ada kemungkinan, sensitifnya saya terhadap kasus kepergian Sara ini karena saya sedang dekat dengan perasaan serupa.

(davetutin.typepad.com)

Dulu saya punya teman cukup dekat yang sekarang tidak bisa dibilang dekat. Saya ingat betul kenapa kami mulai renggang. Teman saya ini punya pacar baru dan dia jadi orang yang mendewa-dewakan pacar. Ketika kami punya janji untuk bertemu, pada menit-menit terakhir dia akan membatalkan karena tiba-tiba diajakin ketemuan sama pacarnya. Pembatalan-pembatalan janji ini lumayan sering terjadi sehingga lama-lama, dengan sendirinya, kami mulai tidak pernah janjian apa-apa lagi. Sama sekali. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyadari kalau ternyata saya sudah kehilangan seorang teman. Saya yang dulu akan sok berintrospeksi dan bertanya-tanya dalam hati "Kenapa ya aku diginiin?" Tapi dari seorang teman yang lain, saya mengerti bahwa the world doesn't revolve around me. Kenapa teman saya begitu nggak harus ada hubungannya sama saya. Kenapa kami udah nggak temenan sedekat dulu lagi ya karena memang takdirnya begitu aja.

Dari pengalaman tersebut saya jadi lebih bisa berkompromi ketika beberapa orang mulai pergi dari hidup saya. Saya jadi ingat ketika beberapa bulan yang lalu saya mbrambangi ketika melihat sahabat baik saya di pelaminan. Sama sekali bukan karena iri, bukan pula karena menangis haru, tapi ini semacam tangisan kekanak-kanakan karena saya tahu ini saatnya saya merelakan sahabat saya itu pergi dari hidup saya. Mungkin terlalu ekstrem kalau saya bilang "pergi dari hidup saya", tetapi adanya suami tentunya akan mengubah prioritas-prioritas dalam hidupnya. Pasca sahabat saya menjadi seorang istri, suatu hari saya janjian untuk bertemu dengannya pada suatu Sabtu sore. Mental saya sudah siap ketika akhirnya dia membatalkan pertemuan kami pada malam Senin, satu hari setelah janji temu kami. Setelah dia menikah kami belum bertemu lagi. Tidak apa-apa. Juga ketika ada seorang sahabat lain yang sedang mudik berwacana ketemuan--yang justru susah dihubungi ketika kami sekota--dan tahu-tahu sudah kembali ke kotanya lagi tanpa kabar apa-apa. Tidak apa-apa.

Lama-lama saya jadi terlatih untuk kehilangan. Saya jadi lebih siap untuk menghadapi proses menjauhnya orang-orang di sekitar saya. Dan menjauhnya mereka sama sekali bukan karena ada yang salah dengan saya. Bukan pula ada yang salah dengan mereka. Memang jodohnya sudah habis saja. Yo uwis, piye meneh :)

You've tried too hard to keep them close, Tish. Let them go. Let them fly.





*scroll up* Kenapa dari ngomongin buku bisa jadi curcol begini yak -,-

Thursday, August 09, 2012

Jamaah LDRiah

Optimis-romantis: Every goodbye makes the next hello closer :*
Apatis-realistis: ... and every hello makes the next goodbye closer as well.

*JEGLERRR!*

Monday, August 06, 2012

Too Much Information :))

Adek (ketika membaca blog kuliner saya): Iki digawe dalam rangka laporan karo Mas Dhamar po piye sih? Ono keterangane madhang ro sapa ...
Saya: ... iso reti le madhang dibayari opo mbayar dhewe barang.
*ngakak bareng*

Monday, May 21, 2012

Dunia yang Lengang

(drpinna.com)
Tak semua lulusan Sastra Indonesia jago dalam mengapresiasi puisi. Saya contohnya. Tak banyak puisi Indonesia yang benar-benar saya suka. Dugaan saya penyebabnya bisa dijabarkan dalam tiga hal berikut: (1) khazanah perpuisian Indonesia saya yang memang tak banyak, (2) saya ini terlalu ndableg sehingga tak mudah disentil puisi, dan (3) otak saya memang ra nyandak untuk mencerna kata-kata sulit.

Dari sedikit puisi yang saya tahu tersebut, favorit saya ada dua: "Rumah" (Toto Sudarto Bachtiar) dan "Surat Amplop Putih untuk PBB" (Taufiq Ismail). Itupun hanya beberapa penggal kalimat, bukan keseluruhan puisi.

Terkadang sebelum masuk rumah
Aku melihat ke atap dan bertanya-tanya
Adakah dia di dalam, masihkah dia cinta
Alangkah besar rasanya hidup, bila hatiku tak gelisah
(Toto Sudarto Bachtiar)

Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu.
(Taufiq Ismail)

Sampai akhirnya saya menemukan sebuah puisi karya M. Aan Mansyur yang saya suka semua kalimatnya. Secara keseluruhan. Bukan dalam penggalan-penggalan.

Dunia yang Lengang

sebuah usaha, agar orang-orang
lebih banyak bicara dengan mata,
pemerintah membuat aturan ketat:
setiap orang hanya berhak memakai
seratus tiga puluh kata per hari, pas.

jika telepon berdering, aku meletakkan
gagangnya di telingaku tanpa menyebut halo.
di restoran aku menggunakan jari telunjuk
memesan mi atau coto makassar. aku secermat
mungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.

tengah malam, aku telepon nomor kekasihku
di jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:
aku menggunakan delapan puluh sembilan
kata hari ini. sisanya kusimpan untukmu.

jika ia tak menjawab, aku tahu, pasti
ia telah menghabiskan semua jatahnya,
maka aku pelan-pelan berbisik: aku
mencintaimu. sebanyak lima belas kali.

setelah itu, kami hanya duduk membiarkan
gagang telepon di telinga kami dan saling
mendengar dengus napas masing-masing.

Nice, eh? :)

Sunday, April 15, 2012

Ke Belanda Gara-Gara 500 Kata

Berhubung belakangan ada beberapa orang yang nanyain artikel yang saya buat tahun kemarin, saya pikir lebih baik saya repost saja tulisan tersebut di blog ini. Sekalian buat arsip pribadi dan juga promosi blog ini *cailahh*. Semoga bermanfaat!

***

Belanda: Merangkul Dunia dengan Bahasa

Suatu hari saya tidak sengaja menguping obrolan turis asing di dekat saya. Dalam sekejap hidup terasa tidak adil. Bagaimana mungkin anak kecil yang tidak lebih tinggi dari perut saya bisa casciscus berbicara bahasa Inggris jauuuuuuuuuuuh lebih baik daripada saya yang bertahun-tahun pontang-panting mempelajarinya?

Sebagai warga dari sebuah negara berbahasa nasional non-Inggris, kita memang dituntut untuk paling tidak menguasai tiga bahasa: bahasa daerah (bahasa ibu), bahasa Indonesia (bahasa nasional), dan bahasa Inggris (bahasa internasional). Andai bisa memilih, kok sepertinya enak sekali ya jadi orang yang terlahir di negara berbahasa Inggris dan menguasai bahasa pergaulan internasional tersebut secara “otomatis”?

Lucunya:

If a person who speaks three languages is trilingual, and one who speaks four languages is quadrilingual, what is someone called who speaks only one language?"

"An American!”

Dalam bukunya How to Learn Any Language (1991), Barry Farber, sedikit dari orang Amerika yang mempelajari 25 bahasa, berpendapat bahwa penguasaan bahasa asing orang Amerika miskin karena keterbuaian mereka dalam zona nyaman. Orang Amerika tidak benar-benar dituntut untuk mempelajari bahasa asing [1]. Jika dengan menguasai satu bahasa mereka sudah dapat hidup, untuk apa mempelajari bahasa lain? Toh bangsa lain justru berbondong-bondong mempelajari bahasa mereka.

Hal sebaliknya terjadi di Belanda.

Admittedly, it’s hard to find a Dutchman who doesn’t speak four or five languages (Farber, 1991).


Jika kita melihat peta Eropa, Belanda tampak seperti liliput yang berada di antara dua negara raksasa, yaitu Perancis dan Jerman. Berbeda dengan kedua tetangganya yang merupakan pusat aristokrasi dan kekuasaan politik Eropa, Belanda hanya dapat menggantungkan hidup pada satu hal: perdagangan [2]. Agar perdagangan tersebut berkembang, para saudagar Belanda terpacu untuk menguasai bahasa Perancis dan Jerman karena hampir tidak mungkin mengharapkan kedua negara besar tersebut berbahasa Belanda. Tidak banyak bangsa yang mau bersikap rendah hati seperti ini dalam berbahasa. Sudah tidak menjadi rahasia lagi bagaimana orang asing yang berkunjung ke Perancis merasa kurang nyaman atas arogansi bahasa yang dimiliki warganya. Orang-orang Perancis memang terkenal malas diajak bicara selain dengan bahasa mereka sendiri [3].

Apakah sikap berbahasa warga Belanda ini relevan dengan prestasi negaranya?

Saya jadi teringat akan sebuah seminar pendidikan yang saya ikuti beberapa minggu lalu. Sang konsultan pendidikan memaparkan tentang banyaknya lulusan SMA yang semula ingin sekali melanjutkan studi ke Jepang, lantas mengubah tujuan negara karena kendala bahasa. Belanda seakan membaca keresahan tersebut dengan menjadi negara berbahasa non-Inggris pertama yang menawarkan lebih dari 1.500 program studi internasional berbahasa Inggris [4]. Bisa jadi ini berarti Belanda mampu "merebut" calon akademia yang semula hendak belajar di Jerman, Perancis, dan negara berbahasa pengantar pendidikan non-Inggris lainnya. Kebijakan Belanda tersebut menjadi jurus ampuh dalam menarik lebih banyak warga dunia yang haus akan ilmu untuk belajar di negaranya. Akan ada semakin banyak orang pintar dari penjuru dunia yang ingin bertambah pintar di Belanda dan menghasilkan temuan-temuan penting bagi dunia. Semoga kita salah satunya.

Saturday, March 24, 2012

Fun Facts about Utrecht (2): Miffy

Entah kenapa saya jarang menggunakan foto profil dengan foto muka sendiri di berbagai akun di internet. Kalau nggak foto objek lain ya foto diri sendiri, tapi tampak belakang :)) Contohnya seperti apa dapat dilihat pada bagian kanan atas blog ini :p Konon yang begini ini pertanda ketidak-PD-an seseorang, hahaha. Saya nggak ambil pusing dengan hipotesis seperti itu karena buat saya ini cuma masalah kebiasaan.

Begitu pula sewaktu saya mendaftar Kompetiblog 2011 dan 'disunahkan' untuk mengunggah foto profil di web. Tidak ingin repot, saya memilih calon foto profil saya dari file berisi ratusan koleksi kartu pos saya dan akhirnya pilihan saya jatuh pada kartu pos bergambar kelinci berikut ...


Pertimbangan saya waktu itu adalah sekadar memilih kartu pos yang sekiranya lucu, begitu coba diunggah tampak manis di web tersebut, ya sudah.


Masalah foto profil ini pun segera terlupakan karena masih banyak hal yang jauuh lebih penting: belum tau mau menulis tentang apa, lanjut proses penulisan dan penyuntingan, lanjut deg-degan menunggu pengumuman, lanjut riweuh persiapan sebelum keberangkatan, lanjut sibuk belajar dan mengerjakan tugas summer course, dan seterusnya.

Masalah ini akhirnya mengemuka lagi pada suatu sore, saat saya berkesempatan JJS keliling Utrecht bersama Bu Kiki, dosen UI yang mengambil studi doktoral di Utrecht Universiteit dan berbaik hati memandu saya menjelajahi kota ini. Sewaktu jalan-jalan di sekitaran Oudegracht, saya melihat sebuah toko yang tampak memajang souvenir keramik berwarna biru yang merupakan oleh-oleh khas Delft. Sebuah pertanyaan pun terucap dari mulut saya:

"Kalau dari Utrecht oleh-oleh khasnya apa ya, Bu?"

Bu Kiki tampak berpikir sebentar kemudian mengajak saya lanjut berjalan sambil menjelaskan tentang sebuah karakter kartun yang diciptakan oleh seorang kartunis kelahiran Utrecht. Menurut beliau, karakter kartun tersebut merupakan karakter kesayangan sekaligus kebanggaan Utrecht. Kalau mau beli oleh-oleh khas Utrecht ya belilah pernak-pernik bergambar karakter tersebut!

Bu Kiki kemudian berhenti di sebuah toko dan menunjuk ke arah sederet kartu pos yang dipajang dengan gambar-gambar karakter yang dimaksud tersebut ....

(eneryvibes.wordpress.com)

Loh, kok si foto profil???

Ckck... Mana saya tahu kalau si kelinci lucu, yang saya pilih dari ratusan gambar yang lain untuk foto profil saya dulu, ternyata adalah kelinci kesayangan warga Utrecht. Dengan memajang gambar Miffy, nama si kelinci itu, saya seakan diam-diam menitipkan doa agar saya benar-benar dapat dikirim ke kota asal si kelinci tersebut. Bagi saya ini sebuah kebetulan yang indah :)

*

Miffy atau Nijntje (singkatan dari konijntje yang berarti 'kelinci kecil') adalah karakter ciptaan Dick Bruna, seorang kartunis kelahiran Utrecht. Karakter ini lahir pada tahun 1955 dengan ciri khas gaya yang minimalis: goresan garis yang sederhana dan penggunaan warna yang tidak banyak. Warga Utrecht sendiri memang sayaaangg sekali sama si Miffy ini. Ada banyak bentuk penghormatan terhadap Dick Bruna dan Miffy, antara lain:

1. Dick Bruna Huis @ Agnietenstraat 3

Tampak luar (oranjeflamingo.wordpress.com)

Tampak dalam (flickriver.com)

2. Nijntjepleintje @ Oudegracht - Van Asch of Wijckskade

(learningdutchatstevenson.blogspot.com)

Little Miffy Square, lengkap dengan patung Miffy (panoramio.com)

3. Miffy Traffic Light @ Lange Viestraat - Sint Jocobsstraat

Miffy Traffic Light (oddee.com)

*

Nah, sekarang, coba bayangkan kalau si Miffy ini bukan kelinci, tetapi kucing! Sosok apa yang bakal kalian ingat?

Iyes, si Hello Kitty!

Kucing Jepang keluaran Sanrio ini lahir tahun 1974, 19 tahun setelah Miffy lahir, tapi lucunya justru banyak yang menyebut si Miffy ini "Hello Kitty-esque rabbit"! Seakan si Hello Kitty ini belum cukup mirip dengan Miffy, dua tahun kemudian muncul teman Hello Kitty yang berupa kelinci bernama Cathy.

(ipkitten.blogspot.com)

Pada wawancaranya dengan The Daily Telegraph tahun 2008, Dick Bruna mengungkapkan ketidaksukaannya pada Hello Kitty. Menurutnya, Hello Kitty jelas meniru Miffy! Ketidaksukaan Dick Bruna ini jadi 'lucu' jika melihat bahwa sebenarnya Dick Bruna juga sempat dituduh hal serupa, yaitu tuduhan bahwa Miffy meniru Musti, karakter kucing dari Belgia yang lahir tahun 1945, 10 tahun sebelum Miffy lahir.

Jadi, kronologis tuduh-menuduh peniruan karakter ini memang agak rumit, pemirsa ...

kucing Belgia - kelinci Belanda - kucing Jepang - kelinci Jepang 
(lille-art.com)

Terlepas dari keterlibatan Musti, pada November 2010 pengadilan Belanda menganggap Cathy terlalu mirip dengan Miffy dan menuntut Sanrio untuk menghentikan penjualan karakter Cathy di kawasan Belanda, Belgia, dan Luxemburg atau membayar denda. Sanrio mengajukan banding dan solusi justru datang dari sebuah bencana pada Maret 2011: tsunami di Jepang

Bentuk dukacita dari Dick Bruna untuk Jepang

Mereka sepakat untuk berdamai. Sanrio setuju untuk tidak akan menggunakan karakter Cathy lagi dan alih-alih mempermasalahkan uang lewat jalur hukum, kedua belah pihak memutuskan untuk menyumbang korban tsunami sebesar 150 ribu Euro. Benar-benar akhir yang melegakan ya :)

Berpelukaaaaaan

Logo yang dibuat Dick Bruna untuk sebuah yayasan perdamaian

Wednesday, March 21, 2012

Kanal-Kanal Saksi Kenakalan

Beberapa hari sebelum terbang ke Belanda, saya menulis komentar sok asyik nan kontradiktif di grup Facebook teman-teman seangkatan, terkait dengan keberangkatan saya ke sana:

Ramadhan nanti akan ada cewek berjilbab jalan-jalan di red light district, nontoni cewek-cewek telanjang dipajang, berbuka puasa dengan ganja & beli oleh-oleh buat kalian di museum seks!

Komentar di atas jelas cuma komentar ngasal dari orang non-Belanda yang sedang membicarakan negara tersebut dari sudut pandang dystopian. Karena cuma nulis ngawur, mana saya sangka kalau sebenarnya saya punya kesempatan besar untuk benar-benar merealisasikan 'bualan' tersebut.

*

Hari-hari terakhir berada di Eropa saya menginap di Amsterdam, di sebuah hostel bernama St. Christopher's at The Winston yang saya booking jauh-jauh hari sewaktu masih di Indonesia. Saya memilih hostel tersebut semata-mata atas pertimbangan menghindari adegan berlama-lama menyeret koper. Dengan kata lain, saya mencari hostel yang lokasinya dekat dengan Amsterdam Centraal. Bodohnya, lagi-lagi karena meremehkan riset, saya baru tahu kalau hostel saya ini juga dekat dengan kawasan Red Light District, begitu sudah pulang ke Tanah Air! Pantesan sewaktu check in saya disambut oleh si mas2 yang jaga di meja resepsionis dengan tatapan kamu-ngapain-bisa-sampai-di-sini-sendirian-wahai-cewek-berjilbab-dengan-tampang-alim?


Meskipun tidak datang bersama siapapun, saya mengambil kamar berjudul 4 bed female dorm yang berarti saya akan punya 3 teman sekamar yang benar-benar tidak dikenal. Bagian harus sekamar dengan orang asing ini sempat bikin saya pikir-pikir cukup lama karena agak parno dengan masalah keamanan, kenyamanan, dll. Tapi kalau tidak dicoba, entah kapan lagi saya bisa mencicipi bagaimana rasanya menginap di hostel dengan tipe kamar dormitory ini. Model kamar beginian kan nggak ngetrend di Indonesia. Lagipula kalau mau ambil private room ... duitnye dari maneeee? Akhirnya dengan banyak doa, saya niatkan ambil kamar dormitory. Asal tidak mengambil tipe mixed dorm alias campur cewek-cowok *wewww*, insya Allah aman. Bismillah.

St. Christopher's at The Winston (hostelclub.com)

Insiden kereta penuh air mata di Paris sebelumnya otomatis membuyarkan jadwal traveling solo saya di Amsterdam. Prediksi indah saya adalah saya akan tiba di Amsterdam cukup pagi untuk kemudian menyempatkan diri jalan-jalan ke Volendam atau Delft. Ini pilihan yang sulit karena kota yang pertama adalah semacam kota wajib-kunjung-turis sementara kota yang terakhir murni iming-iming dari Geges. Rupanya saya tidak perlu repot-repot memilih karena saya sampai di Amsterdam sudah siang, mood berantakan, sementara koper saya saja masih teronggok manis nun jauh di Utrecht sana. Ngokk.

Sepulang dari Utrecht untuk mengambil koper, saya segera ke hostel dan diantarkan ke sebuah kamar di lantai atas. Sambil menaiki tangga yang curam (untungnya mas resepsionis berbaik hati mengangkat si koper-yang-beratnya-bikin-frustrasi), jujur saya merasa deg-degan menghadapi calon teman-teman sekamar saya. Jangan sampai deh dapat teman sekamar yang nyolongan, rese, atau malah rasis. Kekhawatiran saya rupanya harus tertunda karena 2 ranjang yang tampak sudah ditempati sedang ditinggalkan penghuninya. Dari sisa 2 ranjang yang ada, saya memilih ranjang yang paling dekat dengan jendela. Setelah mandi dan sedikit bebenah koper, tibalah saatnya saya menyesatkan diri di Amsterdam!

Damrak (eveandersson.com)

Berhubung belum beli oleh-oleh sama sekali, saya mengarahkan diri ke Damrak, kawasan di pinggir kanal antara Amsterdam Centraal dan hostel yang saya lihat banyak menjual oleh-oleh. Di sini saya kalap dan nyaris menghabiskan semua Euro yang tersisa dengan membeli oleh-oleh standar seperti gantungan kunci, T-Shirt, dan pajangan. Sedang asyik-asyiknya jalan-jalan sendirian di Damrak, tiba-tiba saya menemukan sebuah bangunan yang ngawe-awe minta dimasuki.

Amsterdam Sex Museum! (eurotrip.com)

Saya benar-benar tidak menyangka museum yang sempat saya sebut di Facebook itu lokasinya sangat dekat dengan lokasi hostel tempat saya menginap. Setelah mempertimbangkan mau-masuk-atau-tidak sambil belanja kartu pos di kios sebelah, saya akhirnya mengurungkan niat untuk masuk. Fakta bahwa saya cewek dan sendirian menyiutkan nyali saya untuk berkeliling di dalam museum bertarif 4 Euro tersebut. Lagipula, sepenasaran apapun, saya semacam punya tanggung jawab moral untuk tidak memasuki museum itu dengan dandanan sealim ini :p

Sebagai penghibur atas batalnya kunjungan ke Amsterdam Sex Museum, saya pun menghadiahi diri saya sendiri dengan oleh-oleh yang 'lucu' berupa kartu pos bergambar langka dan ...

Agar lebih sopan saya menyebutnya pasta gunting :|

Berhubung si pacar lebih jago masak daripada saya, sewaktu mudik kemarin dia sempat saya minta memasak si pasta gunting ini. Entahlah cewek macam apa yang meminta pacarnya memasak pasta berbentuk begini, ahaha --" Bukan maksud saya untuk bersikap 'nakal', tapi jauh-jauh ke city of freedom masak saya nggak beli kenang-kenangan 'khas' Amsterdam! Tapi definisi khas ini rupanya jadi agak kelewatan sih. Saya nyaris membeli satu pot kecil tanaman ganja lohhh ... Banyaknya 'coffee shop' alias kedai ganja yang pating tlecek di kota ini bikin saya lupa sama sekali kalau ganja dilarang di Indonesia. Untungnya saya segera ingat sehingga sekarang tidak perlu ngeblog dengan judul Dari Belanda ke Penjara +_+

Karena Euro semakin menipis dan belanjaan mulai membebani, saya memutuskan untuk pulang ke hostel dan segera beristirahat saja agar besok tidak ketinggalan pesawat. Dua teman sekamar saya masih tidak ada di kamar, tetapi rupanya tadi sempat ada yang pulang karena saya menemukan sesuatu yang mencolok yang saya yakin tadi tidak ada: celana dalam warna oranye ngejreng bekas dipakai yang dengan wagu-nya semampir di atas lemari.

Meskipun pada awalnya terbengong-bengong, saya segera menyadari sesuatu. Ah iya, city of freedom!