Belakangan saya sering mengeluhkan sedikitnya waktu yang tersedia untuk membaca buku-buku bagus. "So many books, so little time," kata Eyang Frank Zappa. Ironisnya, dengan keluhan sedikitnya waktu tersebut, ternyata saya tidak terlalu selektif dalam memilih bacaan. Pada kenyataannya saya lebih banyak membaca buku-buku cheesy :D
Tergerak oleh kedatangan sebuah kartu pos bertema Anne of Green Gables karya L.M. Montgomery, saya bertekad untuk mulai lebih banyak membaca buku-buku klasik. Saya memulai dari The Golden Road, masih karya L.M. Montgomery juga. Pilihan yang tidak terlalu tepat karena novel ini ternyata sekuel dari The Story Girl yang belum saya baca. Untungnya The Golden Road ini bukan jenis sekuel yang hanya bisa dipahami setelah kita membaca prekuelnya. Saya cukup mengerti, bahkan sangat menikmati novel ini. Favorit saya adalah cerita tentang seorang tamu yang pura-pura tuli. Cerita ini sukses bikin saya ngekek sampai sakit perut! Ada pula cerita tentang Cecily yang ketika dikirimi surat cinta malah mengembalikan ke pengirimnya setelah sebelumnya mengoreksi tata bahasanya x) I feel you, Dek Cecil :)) Saya baru menyadari kalau saya mudah menyukai buku-buku dengan sudut pandang anak-anak, tetapi ditulis oleh orang dewasa. Karakter anak-anak dalam novel-novel semacam ini (favorit saya Madicken & Lisabet!) cenderung polos-polos lucu.
The Golden Road bercerita tentang masa kecil Beverly dan sepupu-sepupunya di Prince Edward Island, Kanada. Long story short, novel ini diakhiri dengan kepergian Sara Stanley, salah satu sepupu Bev yang jago mendongeng (Sara Stanley = The Story Girl) karena mengikuti ayahnya ke Eropa. Ada banyak sekali detail-detail kecil di novel ini yang cuma disebut sekilas dan sebenarnya sayang kalau tidak dikembangkan: kedekatan Beverly dan Sara Stanley, pernikahan Peter dan Felicity di masa depan, dan yang kayaknya paling banyak bikin sedih pembaca adalah nasib Cecily yang terindikasi kuat berumur pendek.
Meski indikasi sakitnya Cecily ini memang bikin sedih, bagi saya, yang justru paling bikin sedih adalah kepergian Sara. Setelah melihat kedekatan mereka sepanjang tahun, tahu-tahu kita harus melihat Sara Stanley yang dewasa dan ngemong sepupu-sepupunya ini pergi. Zaman dulu (1913?) ketika berjauhan mereka nggak bisa dengan gampangnya SMS-an "Lagi ngopo kowe, Sar?" Mereka menyadari sepenuhnya bahwa kemungkinan untuk bertemu lagi atau bahkan cuma berkomunikasi sangat minim. Yang bikin sedih adalah sikap nrimo mereka terhadap nasib untuk tidak bertemu lagi itu. Semacam yo uwis, piye meneh. Ada kemungkinan, sensitifnya saya terhadap kasus kepergian Sara ini karena saya sedang dekat dengan perasaan serupa.
(davetutin.typepad.com) |
Dulu saya punya teman cukup dekat yang sekarang tidak bisa dibilang dekat. Saya ingat betul kenapa kami mulai renggang. Teman saya ini punya pacar baru dan dia jadi orang yang mendewa-dewakan pacar. Ketika kami punya janji untuk bertemu, pada menit-menit terakhir dia akan membatalkan karena tiba-tiba diajakin ketemuan sama pacarnya. Pembatalan-pembatalan janji ini lumayan sering terjadi sehingga lama-lama, dengan sendirinya, kami mulai tidak pernah janjian apa-apa lagi. Sama sekali. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyadari kalau ternyata saya sudah kehilangan seorang teman. Saya yang dulu akan sok berintrospeksi dan bertanya-tanya dalam hati "Kenapa ya aku diginiin?" Tapi dari seorang teman yang lain, saya mengerti bahwa the world doesn't revolve around me. Kenapa teman saya begitu nggak harus ada hubungannya sama saya. Kenapa kami udah nggak temenan sedekat dulu lagi ya karena memang takdirnya begitu aja.
Dari pengalaman tersebut saya jadi lebih bisa berkompromi ketika beberapa orang mulai pergi dari hidup saya. Saya jadi ingat ketika beberapa bulan yang lalu saya mbrambangi ketika melihat sahabat baik saya di pelaminan. Sama sekali bukan karena iri, bukan pula karena menangis haru, tapi ini semacam tangisan kekanak-kanakan karena saya tahu ini saatnya saya merelakan sahabat saya itu pergi dari hidup saya. Mungkin terlalu ekstrem kalau saya bilang "pergi dari hidup saya", tetapi adanya suami tentunya akan mengubah prioritas-prioritas dalam hidupnya. Pasca sahabat saya menjadi seorang istri, suatu hari saya janjian untuk bertemu dengannya pada suatu Sabtu sore. Mental saya sudah siap ketika akhirnya dia membatalkan pertemuan kami pada malam Senin, satu hari setelah janji temu kami. Setelah dia menikah kami belum bertemu lagi. Tidak apa-apa. Juga ketika ada seorang sahabat lain yang sedang mudik berwacana ketemuan--yang justru susah dihubungi ketika kami sekota--dan tahu-tahu sudah kembali ke kotanya lagi tanpa kabar apa-apa. Tidak apa-apa.
Lama-lama saya jadi terlatih untuk kehilangan. Saya jadi lebih siap untuk menghadapi proses menjauhnya orang-orang di sekitar saya. Dan menjauhnya mereka sama sekali bukan karena ada yang salah dengan saya. Bukan pula ada yang salah dengan mereka. Memang jodohnya sudah habis saja. Yo uwis, piye meneh :)
You've tried too hard to keep them close, Tish. Let them go. Let them fly.
*scroll up* Kenapa dari ngomongin buku bisa jadi curcol begini yak -,-