Selamat malam dari Utrecht! :) Maafkan baru ada kabar setelah hari ketiga berada di sini. Dua hari kemarin masih dalam masa-masa adaptasi, dikerjain oleh cuaca yang mood-moodan dan terkaget-kaget dengan pemandangan pukul 9 malam (?) dari jendela kamar yang seperti ini:
Bagi saya yang tinggal di Jogja sejak lahir, pernah pindah rumah sekali pun cuma ke kecamatan tetangga yang jaraknya sekitar 10 km dari rumah lama, bisa merasakan suasana malam yang terang benderang begitu jelas adalah sebuah prestasi, haha. Saya menjalani masa kecil dengan memegang rekor titik terbarat yang pernah saya datangi adalah Sungai Progo dan titik tertimur adalah Solo. Masa remaja sedikit ada peningkatan rekor dengan titik terbarat Jakarta dan titik tertimur Bali. Ya, segitulah cakupan hidup saya selama lebih dari 20 tahun ini :)
Sebenarnya halangan utama saya untuk tidak banyak bepergian adalah bawaan saya sejak lahir yang sangat ndeso, yaitu motion sickness alias mabukan. Nyium bau bis aja mual, apalagi menaikinya. Begitu pula dengan menaiki barang-barang bergerak lain, baik itu kendaraan, wahana semacam kora-kora, maupun sekadar lift :p Katanya sih motion sickness cuma masalah kebiasaan karena banyak cerita tentang orang yang dulunya mabukan lama-lama bisa sembuh karena terbiasa. Tapi kok ya sudah tidak terhitung berapa kali saya 'belajar untuk naik bis', pasti nggak pernah berhasil karena 'proses pembelajaran' itu sama dengan hari-hari penuh kepala berputar dan justru menyebabkan ketidakproduktifan. Walhasil saya memutuskan untuk menyerah dan meminimalisasi penggunaan barang-barang bergerak tersebut. Dan tiba-tiba sekarang... whuzzzzzzzz... meloncatlah saya belasan ribu kilometer jauhnya dari zona nyaman saya selama ini dan 'dicemplungkan' oleh NESO untuk setiap hari harus berkawan dengan kereta, bus, trem, dan semacamnya.
Saya jadi ingat tentang kuliah siang ini yang berjudul Living in the Netherlands, Through Immigrant Eyes:
Choosing a new country to live in, whether to study or work, is almost like marriage.
Butuh sebuah komitmen untuk tinggal di sebuah lingkungan baru, halangan apapun harus bisa dihadapi supaya bisa bertahan, for better for worse. Saya dengan 'musuh-musuh bergerak' saya, beberapa teman yang bete setiap hari karena cuma bisa ketemu pacar sekitar setahun sekali, budaya yang sama sekali lain, homesick, dan apapun kesusahan dan pengorbanan itu cuma kecil dibandingkan dengan sesuatu yang lebih besar yang sedang kita perjuangkan, entah itu penghidupan yang layak ataupun pendidikan yang sangat berkualitas. Kalau masih menghindari naik bis, dll saya nggak akan survive di Belanda. Bodoh namanya kalau saking sayangnya sama pacar dan nggak mau jauh-jauhan, kemudian membuang kesempatan menuntut ilmu di negara lain yang jauh lebih berkualitas. Kalau nggak mau susah kita nggak akan dapat apa-apa.
Jadi, okelah saya akan bermual-mual sedikit menjalani summer course ini, karena, ya ampuuunn, itu mah nggak ada apa-apanya dibanding dengan kesempatan, ilmu, dan pengalaman yang saya dapat di sini :)
8 comments:
Hmm..masa remaja ke Jakarta? Kurang lebih 20 tahun ini? Hahahaha....
Hebat sekali ndak merasa homesick -,-''
Malah yang dipikirin motion sickness-nya. hahaha...
Tapi kerja bagus, Titi Sari!!! Aku tunggu tulisan berikutnya. Namun aku bersumpah akan membacanya setelah sholat Tarawih. Nek ndak gitu, pahala puasaku berkurang gara2 mupeng cenderung iri :D
Salam dari Jogja pukul 09.31 WIB :)
Wah, kesempatan menerima pendidikan berkualitas memang patut diperjuangkan dan di-share. di tunggu kisah2 selanjutnya, Ti..
Salute!! :*
@Panda ga gt homesick wong cuma bentar :p tp kangen nasi & suasana sahur/buka di rumah, hiks
Salam dari Utrecht pukul 00.02
@Anonymous: Yes, I am :p
Maksih @Dedek Bejo, sering2lah mengunjungi blog ini ;)
Di Belanda, bulan seterang matahari ya, Tis? Tapi kok orang sana nggak item2 ya.. hehe..
iya dooonk..mampir melu ngintip belandaaaa :*
WAAAWWWW. akhirnya pindah beneran toh. KARTUPOOOOOSSSSS KARTUPOSSSSS.
tak kiro neng aussie jeh.
Post a Comment