Tiga tahun yang lalu saya pernah ngrasani sebuah mata kuliah yang saya sebut dengan kuliah-paling-berkarakter-semester-ini :D Nggak nyangka mata kuliah tersebut bakal saya singgung2 lagi IN A REALLLLLLLLYYYYYYYY GOOOOOOOOD WAAAAAAAAAAYYYYY :D
Semua ini berawal dari hal sepele: jatah SKS.
Pada awalnya, setahu saya jatah mata kuliah di kampus saya adalah 24 SKS tiap semesternya. Baru pada masa2 KRS semester dua, tiga setengah tahun silam, saya mendengar selentingan bahwa mengambil lebih dari itu rupanya diperbolehkan dengan *syarat dan ketentuan berlaku. Waktu itu saya hanyalah mahasiswa oportunis yang beranggapan bahwa semakin banyak jatah SKS saya tiap semester = semakin cepat saya lulus. Dengan tekad bulat, saya pun nawaitu mengambil >24 SKS, meskipun banyak yang mewanti2 bahwa *syarat dan ketentuan berlaku ini cukup merepotkan. Nantinya kerepotan ini memang terjadi pada saat mengusahakan persetujuan dosen pembimbing, mengurus di bagian akademik, dan pada saat membayar uang kuliah (jumlah SKS yang tidak sesuai aturan = mengacaukan sistem pembayaran). Selain kerepotan tersebut, rupanya mengambil SKS berlebih juga berarti ketidakleluasaan dalam mengambil mata kuliah tertentu. Pada kasus saya saat itu, kalau beneran pengen mengambil SKS berlebih, mau tidak mau saya harus mengambil mata kuliah pilihan yang berjudul Bahasa Belanda sebagai Bahasa Sumber.
Rupanya teman-teman seangkatan tidak ada yang seoportunis saya. Dengan jalur konvensional 24 SKS itu, mereka tergiring untuk mengambil mata kuliah Keterampilan Wicara (3 SKS) sementara saya mengambil mata kuliah Bahasa Belanda (4 SKS) yang pada hari pertama masuk kelas baru saya tahu kalau ternyata pesertanya berjumlah EMPAT ORANG SAJA, yaitu saya yang angkatan 2007 dan tiga mbak-mbak lain dari angkatan 2005, 2004, dan 1999 (?). Dan hari-hari yang diisi dengan les privat kuliah Bahasa Belanda ini pun dimulai ....
Dari awal, sang dosen, Meneer S sudah menggarisbawahi embel2 sebagai Bahasa Sumber pada nama mata kuliah kami yang berarti bahwa nantinya tujuan akhir belajar bahasa Belanda di sini untuk memahami teks, bukan untuk bahasa percakapan. Selama 2x100 menit setiap minggunya, kami disodori dengan bacaan sejarah yang misalnya berjudul De Nederlandse infiltratie op Sumatra, De invloed van het koloniale bestuur, dan pembahasan De Koelies in Deli yang cukup mendalam, sampai-sampai Meneer S berkomentar, "Begitu mata kuliah ini selesai, saya rasa kalian sudah jadi ahli kuli." :D
Saya paling suka bagian di saat kami harus membaca teks keras-keras (Semakin sering ketemu huruf [g] semakin menyenangkan, haha). Meneer S juga punya panggilan kesayangan (diminutif) untuk kami: Crisye untuk Mbak Cristine, Wawatje untuk Mbak Wawa, dan untuk saya: Sartje! (kayak merek kalkulator :-S). Sementara untuk Mbak Lidia saya lupa karena Mbak Lidia ini memang jarang masuk, hihi... Urusan jarang masuk ini juga perlu disinggung karena: kelas kecil dengan empat orang juga berarti > jika tiga tidak masuk = les privat :D
Merasa ilmunya nanggung, sementara tidak ada mata kuliah Bahasa Belanda sebagai Bahasa Sumber II, pada semester selanjutnya saya mengambil mata kuliah ini lagi di jurusan Sastra Nusantara (dengan dosen yang berbeda). Kata-kata dosen tersebut saat hari pertama perkenalan benar-benar tidak akan saya lupa: "Besok sewaktu di alam kubur, kalian itu sama malaikat nggak cuma ditanyain tuhannya siapa, agamanya apa, nabinya siapa, kitabnya apa! Bakalan ada pertanyaan tambahan buat kalian yang kuliah di Ilmu Budaya: Sudah ke Leiden belum? Sudah ke Utrecht belum? Mahasiswa Ilmu Budaya itu harus pernah menginjakkan kaki di Belanda!" :))
Semenjak itu saya semacam terdoktrinasi oleh kata2 beliau: Saya mahasiswa Ilmu Budaya dan saya harus menuntut ilmu sampai ke Belanda :)
Semester enam kebetulan saya menjadi asisten Meneer S dan beliau tanpa sadar terus membantu menjaga semangat saya untuk meraih Belanda: selalu menyuruh saya yang membaca teks Belanda saat ikut kelas apapun yang diampu beliau, memberikan tawaran menjadi tutor mata kuliah Bahasa Belanda untuk adek angkatan (meskipun tidak jadi karena peserta masih minim, hiks), dan menawari saya untuk sit in di mata kuliah Bahasa Belanda dari jurusan Sejarah (meskipun tidak jadi juga karena jadwal kuliah bentrok, huks).
Siapa sangka saya bisa meraih mimpi tersebut bahkan lebih cepat dari yang saya bayangkan :)
Sehari setelah pengumuman, saya main ke jurusan untuk mengurus surat pengantar pembuatan paspor dan Meneer S tiba2 menyapa saya: "Hey, Sari, kamu katanya mau ke Belanda ya?" Saya nengok ke beliau dan rasanya langsung pengen nangisssssssss +_+. Rencana semula saya pengen menyampaikan kabar menggembirakan ini secara pribadi, tapi urusan paspor yang mendadak "mengharuskan" saya curhat duluan ke Ketua Jurusan dan menyebabkan Meneer S tahu berita itu dari orang lain. Bagi saya, Meneer S semacam "berhak" untuk mendengar kabar itu langsung dari mulut saya :')
Berhubung Meneer S sedang ada tamu, saya hanya mengobrol seperlunya sambil berjanji dalam hati kali lain harus mencari waktu untuk berterima kasih kepada beliau secara pribadi. Saya lalu keluar dan mampir melihat papan pengumuman di depan ruang jurusan. Masih ada tempelan mengenai mata kuliah yang ditiadakan karena peminatnya kurang dari sepuluh orang:
mata kuliah Bahasa Belanda yang diampu Meneer S salah satunya.
Saya hanya bisa menghela nafas dan bersyukur aturan peniadaan mata kuliah tersebut belum ada tiga setengah tahun silam.