(drpinna.com) |
Tak semua lulusan Sastra Indonesia jago dalam mengapresiasi puisi. Saya contohnya. Tak banyak puisi Indonesia yang benar-benar saya suka. Dugaan saya penyebabnya bisa dijabarkan dalam tiga hal berikut: (1) khazanah perpuisian Indonesia saya yang memang tak banyak, (2) saya ini terlalu ndableg sehingga tak mudah disentil puisi, dan (3) otak saya memang ra nyandak untuk mencerna kata-kata sulit.
Dari sedikit puisi yang saya tahu tersebut, favorit saya ada dua: "Rumah" (Toto Sudarto Bachtiar) dan "Surat Amplop Putih untuk PBB" (Taufiq Ismail). Itupun hanya beberapa penggal kalimat, bukan keseluruhan puisi.
Terkadang sebelum masuk rumahAku melihat ke atap dan bertanya-tanyaAdakah dia di dalam, masihkah dia cintaAlangkah besar rasanya hidup, bila hatiku tak gelisah(Toto Sudarto Bachtiar)
Bersama surat ini kukirimkan ludahku padamu.(Taufiq Ismail)
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah puisi karya M. Aan Mansyur yang saya suka semua kalimatnya. Secara keseluruhan. Bukan dalam penggalan-penggalan.
Dunia yang Lengangsebuah usaha, agar orang-oranglebih banyak bicara dengan mata,pemerintah membuat aturan ketat:setiap orang hanya berhak memakaiseratus tiga puluh kata per hari, pas.jika telepon berdering, aku meletakkangagangnya di telingaku tanpa menyebut halo.di restoran aku menggunakan jari telunjukmemesan mi atau coto makassar. aku secermatmungkin melatih diri patuh aturan dan berhemat.tengah malam, aku telepon nomor kekasihkudi jakarta, dengan bangga aku bilang padanya:aku menggunakan delapan puluh sembilankata hari ini. sisanya kusimpan untukmu.jika ia tak menjawab, aku tahu, pastiia telah menghabiskan semua jatahnya,maka aku pelan-pelan berbisik: akumencintaimu. sebanyak lima belas kali.setelah itu, kami hanya duduk membiarkangagang telepon di telinga kami dan salingmendengar dengus napas masing-masing.
Nice, eh? :)