Friday, September 30, 2011

Paris Day 2: Summer Sesummer-Summernya

Tidak seperti hostel di Brussels yang kami pilih dari hostelworld dengan mudahnya, hostel kami di Paris terpilih setelah melalui proses yang cukup panjang. Mengingat Paris termasuk kota mahal, cukup sulit rasanya memilih hostel memuaskan dengan harga terjangkau. Nemu hostel strategis tapi kok harganya selangit, begitu ada hostel murah eh lha kok jauh dari mana-mana. Urusan memilih akomodasi di Paris ini jadi terpaksa kami endapkan untuk beberapa lama sampai akhirnya benar-benar sudah tidak bisa ditunda lagi penyelesaiannya. Semakin mendekati tanggal keberangkatan, kami akhirnya berhasil menyisakan dua kandidat saja: St. Christopher's Paris dan Hotel du Commerce.


vs



Kalau boleh jujur, faktor utama saya pengen tinggal di St. Christopher's Paris adalah lokasinya yang di tepi danau buatan (Bassin de la Villette). Cantik! Tapi akhirnya kami harus berpikir rasional dan mengesampingkan faktor emosional nan romantis tersebut karena meskipun pemandangannya cantik, St. Christopher's Paris ini letaknya cukup jauh, di timur laut sana. Karena lebih memilih bisa-jalan-jalan-di-seputar-hostel daripada bisa-nonton-danau-dari-jendela-hostel, akhirnya pilihan kami condong ke Hotel du Commerce, hostel seharga 27 Euro per malam yang cukup dekat dengan salah satu objek vital di Paris, Notre Dame Cathedral. Nah, itu buktinya ada hostel strategis dan murah? Ooo, di dunia ini tidak ada yang sempurna, sodara-sodaraaa ... Biarpun strategis dan (terkesan) murah, harga segitu tidak termasuk sarapan dan bahkan kamar mandi. Yap, di sini mau mandi pun harus bayar 2 Euro! Rasanya gimanaaa gitu mandi kok bayar sekitar 24 ribu rupiah. Berhubung saya termasuk manusia yang tahan tidak mandi (*ehhhh?), rasanya kekurangan hostel yang satu ini masih bisa ditoleransi. Mumpung sudah tinggal dekat dengan Notre Dame Cathedral, hari kedua kami menyempatkan diri untuk mengunjungi si objek-wisata-tetangga dengan berjalan kaki. Rencananya dari Notre Dame Cathedral kami akan mengunjungi Versaille dan menikmatinya seharian.



Sesampainya di Notre Dame, tampak antrean pengunjung yang sudah mengular di depan pintu gereja. Sembari ikut mengantre, saya segera mengganti alas kaki (dari sandal jepit ke sepatu). Belajar dari pengalaman walking tour kemarin, hari ini saya memang berniat memakai sandal jepit selama perjalanan. Sepatu tetap tersedia di dalam tas dalam rangka berjaga-jaga siapa tahu ada objek wisata yang melarang pengunjungnya memakai sandal jepit. Bete juga kan kalau jauh-jauh sampai Versaille ternyata terkendala hanya gara-gara sandal jepit. Di Notre Dame sendiri tidak ada larangan khusus untuk memakai sandal jepit, saya berinisiatif sendiri saja untuk berganti alas kaki, hitung-hitung menghormati rumah ibadah agama lain.


Sepanjang bagian dalam gereja berlangit-langit supertinggi ini terdapat beberapa bilik-bilik terpisah, lengkap dengan altar dan patung yang berbeda-beda. Saya yang kurang mengerti segera bertanya pada Geges yang pastinya lebih tahu. Sebagai pemeluk agama Islam yang mengunjungi rumah ibadah agama Katolik bersama seorang pemeluk agama Protestan, saya jadi mendapat banyak pengetahuan baru akan perbedaan agama Katolik dan Kristen Protestan. Bilik-bilik tersebut dilengkapi dengan lilin-lilin kecil seharga 2 Euro yang dapat dinyalakan untuk berdoa. Konsepnya seperti kantin kejujuran. Tidak ada yang menjaga lilin-lilin tersebut, tetapi pengunjung tentunya tahu diri untuk memasukkan 2 Euro ke dalam stoples apabila memang mengambil lilin tersebut. Selain lilin kecil seharga 2 Euro ada pula lilin besar seharga 5 Euro yang dimasukkan ke dalam gelas plastik bertutup. Selain digunakan untuk berdoa, take-away-candle ini juga dapat dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Setelah memasukkan 5 Euro ke dalam stoples, saya segera mengambil sebuah lilin dan memasukkannya ke dalam tas.


Rencana semula, kami akan langsung berangkat ke Versaille sekeluarnya dari Notre Dame. Apa daya godaan penjaja souvenir di sepanjang jalan di seputaran Notre Dame membuat kami kewalahan dengan belanjaan dan terpaksa pulang ke hostel dulu. Begini nih untungnya ambil hostel yang dekat. Karena pulang ke hostel lagi sama dengan tersitanya waktu yang seharusnya dialokasikan ke Versaille, kami pun sedikit bergegas menuju metro. Lagi-lagi kami tersesat dan entah bagaimana terdampar sampai di stasiun Invalides dan membaca sebuah pengumuman di ticket office bahwa ... jreng jreng ... hari itu Versaille tutup. Hahaha, nggak lagi-lagi deh berwisata dengan survei ala kadarnya. Lain kali benar-benar harus mempersiapkan sedetail-detailnya, hufff. Keluar dari stasiun Invalides tanpa ada ide mau berwisata ke mana, akhirnya kami memutuskan untuk walking tour lagi di seputaran stasiun. Bangunan mana yang kelihatan dari stasiun dan kayaknya menarik, ya udah deh itu yang disamperin. Di ujung kiri sana ada Les Invalides dan di kanan ada pasangan Grand Palais dan Petit Palais, faktor cuaca yang superrrpuanass akhirnya menuntun kami untuk memilih objek yang lebih dekat: belok kanan.


Berbeda dengan cuaca di Belanda yang autumn-nearing-winter berkedok summer, cuaca di Paris ini benar-benar summer sesummer-summernya: panas, silau, sumuk, gerah, dst. Sementara Geges masih semangat berjalan-jalan di depan Grand Palais, saya memilih ngeyup di Petit Palais sambil berusaha menelepon si pacar di ujung belahan dunia sana. Puas ngadem, kami melanjutkan perjalanan menuju Musee du Louvre melewati Luxor Obelisk dan masuk melalui Jardin des Tuileries, taman kota yang sangat luas, tempat beratus-ratus orang sedang berjemur. Kami yang berasal dari negara tropis dan bosan dengan sinar matahari setiap harinya hanya bisa berdecak heran melihat pemandangan tersebut. Di Jardin des Tuileries ini jugalah kami sempat melihat seseorang yang kejang-kejang ketika sedang berjemur. Kayaknya sih kena serangan panas. Orang itu segera ditolong dan kami melanjutkan perjalanan sambil merasa tidak enak karena pada awalnya kami dan orang-orang di sekitar mengira dia ini lagi maen teater! +_+ Sesampainya di Louvre kami cuma duduk-duduk sambil ngadem di pinggir kolam yang ternyata kotor penuh sampah :-S


E ya ampuuuun, kirain yang beginian cuma nemu di tanah air!

*to be continued*

Tuesday, September 27, 2011

Paris Day 1: Honeymoon with My Summer School Partner

Sudah tidak menjadi rahasia lagi bagaimana orang asing yang berkunjung ke Perancis merasa kurang nyaman atas arogansi bahasa yang dimiliki warganya. Orang-orang Perancis memang terkenal malas diajak bicara selain dengan bahasa mereka sendiri (Titi Sari A K, 2011).

Yang di atas ini merupakan kutipan dari Belanda: Merangkul Dunia dengan Bahasa, artikel yang mengantarkan saya berangkat menuju Eropa. Jadi bisa dibilang saya bisa ke Eropa kemarin gara-gara ngeledekin Perancis, hahaha... Tapi ngeledek bukan berarti antipati. Toh biar saya ledekin kayak apa, di tulisan kemarin saya malah nulis: satu-satunya kota yang ingin dan harus saya sambangi sewaktu mumpung-sudah-di-Eropa kemarin cuma Paris. Daya tarik kota ini memang terlalu kuat untuk diabaikan. Dan saya tidak sendirian. Lihat saja teman-teman saya yang melanjutkan studinya ke Eropa. Tidak sampai sebulan sejak kedatangan mereka untuk menuntut ilmu di negara mana pun di Eropa, profile picture facebook mereka rata-rata langsung berubah dengan latar belakang Eiffel, Eiffel, dan Eiffel.

kalau si Mpus punya facebook, pp-nya akan seperti ini

Meski akan menjelajahi kota ini bersama-sama, saya dan Geges menaiki kereta menuju Paris dengan jadwal yang berbeda. Cara yang sama juga kami lakukan sewaktu melakukan perjalanan dari Utrecht menuju Brussels. Bedanya, kalau Utrecht-Brussels saya berangkat duluan, untuk Brussels-Paris giliran Geges-lah yang berangkat duluan. Sesampainya saya di Gare du Nord, sudah ada sms dari Geges yang mengabarkan bahwa dia sedang mengantre untuk menanyakan EuroPass-nya. Saya pun segera ikut mengantre di tempat lain, mengurusi nasib mobilitas saya dua hari ke depan. Di ticket centre di lantai bawah saya membeli tiket Paris Visite untuk 2 hari seharga 15,2 Euro. Sekilas melihat peta metro + RER yang disertakan, sepertinya saya akan menikmati proses wira-wiri di kota ini :)

Paris Visite Pass

Peta Paris Metro: semakin ruwet semakin asyik! ;D

Belajar dari pengalaman mencari metro di Brussels dan didukung dengan petunjuk yang jelas, dengan mudah saya dan Geges kemudian menemukan pemberhentian metro no. 5 yang nantinya akan membawa kami ke stasiun Gare d'Austerlitz. Pada awalnya, metro no. 5 ini hanya melewati jalur bawah tanah sehingga tidak banyak pemandangan menarik yang bisa kami nikmati. Tetapi kejutan menanti setelah metro melewati stasiun Quai de la Rapee, metro kami melewati jembatan di atas Sungai Seine: cantiiiik :) Berada di atas metro yang berjalan kencang melewati jembatan terbuka yang berderak-derak rasanya mirip-mirip naik roller coaster :p Begitu turun di Gare d'Austerlitz kemudian kami berganti metro no. 10 yang akan membawa kami ke Maubert Mutualite, stasiun terdekat dari hostel tujuan kami: Hotel du Commerce.

Hotel du Commerce

Setelah sedikit tersesat (LAGI!) kami akhirnya menemukan Hotel du Commerce, sebuah bangunan putih beraksen kanopi hijau di antara jajaran beberapa restoran Vietnam dan Tibet. Tidak berlama-lama di hostel, kami segera berangkat untuk mengeksplorasi kota ini lebih lanjut. Terbayang-bayang dengan kelezatan farewell dinner kami di La Fontana - Utrecht, kami sepakat mencari pizzeria sejenis. Untungnya pizzeria seperti ini cukup gampang ditemukan. Semula kami memilih tempat di dalam, tetapi begitu kursi-kursi di luar kosong kami segera pindah. Cukup banyak turis yang kemudian berhenti karena tertarik untuk ikut membeli pizza setelah melirik-lirik kami yang makan dengan lezatnya :D Dengan peta metro di tangan dan setengah loyang pizza di perut, kami memulai eksplorasi kali ini dengan mengunjungi Eiffel. Belum tenang rasanya berada di Paris kalau belum melihat pucuk Eiffel sama sekali. Dari Maubert Mutualite, kami segera mengambil metro no. 10 menuju La Motte Picquet Grenelle untuk kemudian berganti metro no. 6 menuju Bir-Hakeim. Sama seperti jalur no. 5, jalur no. 6 ini tak melulu berada di bawah tanah. Semakin mendekati Eiffel, kami melewati jalur terbuka dengan berbagai bangunan di kanan-kiri kami. Inilah yang membuat saya ribut sendiri di dalam metro, celingak-celinguk mencari pucuk Eiffel sambil sedikit-sedikit bertanya pada Geges, "Mana sih Eiffel-nya? Mana sih?". Bagi saya, momen melihat Eiffel untuk pertama kalinya itu cukup penting :D Turun dari metro, kami belum juga berhasil melihat Eiffel. Saking bersemangatnya, kami sampai setengah berlari mendahului kerumunan orang yang kami yakini juga sama-sama menuju Eiffel. Setelah beberapa saat ... nah itu dia! Pucuknya masih mengintip malu-malu, tetapi semakin kami mendekat, semakin tampaklah kegagahannya. Apalagi sewaktu berada persis di bawahnya: WAAAAAHHHHHH!!!

'dipekangkangi' si Iron Lady

Dan sekarang saatnyalah mewujudkan mimpi saya: tiduran di atas rumput Paris sambil nontoni Eiffel!! :D Saya segera melangkahkan kaki menuju Champ de Mars, menyusul ratusan manusia di sana yang sudah leyeh-leyeh dengan santainya. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, orang-orang yang tiduran di sekitar kami kebanyakan datang berpasangan. Nggak heran lah, ini Paris: the city of lovers & the most romantic place on earth! Kota terfavorit untuk berbulan madu. Sudah tidak terhitung berapa kali saya nemu orang ciuman dengan santainya. Baik itu sedang leyeh-leyeh, jalan-jalan, berdiri menunggu metro, ataupun duduk di dalam metro. It's almost everywhere!

hiasan dinding di pizzeria, bukti Paris si kota cinta

Puas tidur-tiduran dan langit mulai menggelap sementara kami baru dapat satu objek, kami segera melanjutkan perjalanan ke Arch de Triomphe. Dari Eiffel kami berjalan kaki menuju Trocadero melewati Pont d'Iena yang membelah Sungai Seine. Taman di Trocadero ini cantiiiiik sekali, lengkap dengan air mancur dan puluhan orang yang sunbathing walau hari mulai menggelap. Dari Trocadero kami menaiki metro no. 9 menuju Champs Elysees untuk selanjutnya berjalan sepanjang jalan-paling-mahal ini menuju Arc de Triomphe di ujung jalan. 

Arc de Triomphe dari Champs de Elysees

Selama berjalan, kanan-kiri kami penuh dengan toko elite nan wah. Sebagai wanita akhirnya kami tergoda untuk memasuki salah satunya, Sephora, tempat Geges membeli entah apa (foundation?? :p) sementara saya hanya sampai tahap nyaris tergoda membawa pulang satu set miniature-perfume. Kelelahan menyusuri Champs Elysees yang puanjaaang, kami langsung mencari tempat duduk begitu Arc de Triomph sudah di depan mata. Di sini kami tidak sesemangat tadi untuk berfoto-foto karena selain capek, foto yang dihasilkan selalu kurang memuaskan karena selalu adaaaa saja orang lain yang ikut terfoto. Mengingat tujuan kami besok ada di pinggiran Paris, kami segera turun ke stasiun terdekat untuk pulang ke hostel tanpa ke mana-mana lagi. 


Arch de Triomphe yang berada di tengah sebuah perduabelasan

Tunggu kami besok, V e r s a i l l e ...

Thursday, September 15, 2011

There's A Conspiracy Against Me in Brussels

Ups, sementara rekan summer school saya sudah bisa bercerita sampai Swiss dan bahkan sudah kembali ke Belanda lagi, saya baru akan bercerita tentang ...


Senangnya ikut summer school hadiah dari NESO kemarin adalah saya dan Geges bebas menentukan mau pulang kapan. Pihak NESO tinggal menyesuaikan pemesanan tiket pesawat sesuai keinginan kami: 17 Agustus untuk saya dan 24 Agustus untuk Geges. Yap, dengan beberapa pertimbangan saya memang memutuskan untuk tidak berlama-lama extend di sana. Toh buat saya lima hari sudah cukup karena sebenarnya satu-satunya kota yang ingin dan harus saya sambangi sewaktu mumpung-sudah-di-Eropa kemarin cuma Paris. Saya harus mampir tiduran di atas rumput Paris sambil nontoni Eiffel. Titik.


Berhubung saya berencana menggunakan Thalys dan kalau dari Belanda mau ke Paris lewat Belgia, saya pun memutuskan untuk mampir barang sehari di ibukotanya: Brussels. Sebatas itu sajalah fungsi Brussels bagi saya: kota transit. Karena merupakan kota iseng-iseng itulah saya pun menyepelekan persiapan ke sana. Survei yang saya lakukan sebatas browsing hostel dan peta. Saya semakin menyepelekan sewaktu saya nemu peta Brussels yang cukup mencerahkan di sebuah website unyu. "Brussels kecil kok, ke mana-mana bisa jalan kaki katanya. Gampang lah nanti," pikir saya waktu itu. Begitu tiket kereta sudah dipesan dan booking hostel sudah dilakukan, barulah saya sedikit melakukan survei lagi dan tiba pada sebuah artikel di internet yang berjudul ... jreng jreng jreng ...

Brussels: Most Boring City in Europe

Zzzzzz... Dari begitu banyak pilihan kota di Eropa kenapa juga kota yang mau saya kunjungi justru kota yang menurut survei paling membosankan? Hahaha *ketawa datar* Sebenarnya saya nggak masalah sih Brussels ini kota yang kayak apa, motivasi awal saya toh cuma menjadikan Brussels sebagai kota transit, jalan-jalan sedikit, kalau capek ya tidur. Masalahnya saya ke Brussels bersama Geges dan bisa dibilang Geges ke Brussels karena saya. Saya jadi semacam bertanggung jawab atas menarik tidaknya kota ini dan merasa bersalah begitu tahu kalau ternyata kota ini tidak begitu menjanjikan :-S Ketidakmenarikan kota ini bahkan sudah diiyakan oleh Geges melalui blognya :p Karena sudah tahu dari awal bahwa Brussels kota membosankan, saya jadi tidak terlalu berharap banyak dari kota ini. Kadang dengan mempersiapkan ekspektasi yang serendah-rendahnya, seseorang jadi bisa lebih menikmati sesuatu yang akan dihadapinya. Sayangnya masalah ekspektasi-serendah-rendahnya itu pun tidak banyak membantu. Cukup banyak kejadian yang tidak mengenakkan terjadi di Brussels, misalnya:

1. Dalam rangka mencari metro, saya dan Geges keluar dari Gare du Midi dan baru beberapa detik berjalan ... terciumlah bau pesing! Menurut saya apa yang berada di sekitar stasiun sangat penting. Apa yang dilihat, dicium, didengar, dan dirasakan pertama kali begitu datang di sebuah kota baru sangat berpengaruh untuk membentuk keseluruhan kesan kota tersebut. Visitor Centre tepat di luar stasiun Leiden Centraal memberikan kesan tourist friendly. Bau pesing yang tercium tepat di luar Gare du Midi? -_-"


2. Masih dalam rangka mencari metro, saya dan Geges menunggu di pinggir sebuah pemberhentian di luar Gare du Midi. Ini pun atas petunjuk dari seseorang berseragam yang sempat kami tanyai. Di sini kami celingak-celinguk cukup lama. Segala peta dan petunjuk yang ada di papan tidak mencerahkan, mau mengambil kendaraan yang mana dan ke arah mana saja kami tidak tahu. Beberapa kali bertanya kepada orang sekitar juga sama sekali tidak membantu. Akhirnya saya mengalami sendiri apa yang saya sebut-sebut di artikel kompetiblog saya. Nanyanya pake bahasa apa, jawabnya pake bahasa apa. Bahkan ini saya belum sampai di Perancis -_-" Intinya kami kebingungan dan frustrasi. Kami sempat berjalan menjauhi Gare du Midi, kesasar, dan memutuskan untuk kembali lagi. Saya sampai sms2 minta bantuan ke si pacar di Sydney sana. Jauh amat minta bantuannya ya? Hahaha, namanya juga frustrasiii. Sama-sama capek dan bete bikin suasana antara saya dan Geges jadi agak nggak enak. Yak, selama dua minggu summer school hahahihi bersama tidak ada konflik apa-apa, begitu sampai di Brussels kami langsung 'sedikit berantem' :p Oh ya, dan ternyata yang namanya metro itu pemberhentiannya masih ada di dalam kawasan Gare du Midi. Jadi dari tadi saya dan Geges ke luar stasiun berjam-jam itu ternyata sia-sia belaka -_-"

Peta Brussels metro

3. Setelah keluar dari bencana kesasar dan berhasil menemukan hostel, kami leyeh-leyeh cukup lama untuk meredakan frustrasi. Pukul 6 kami sudah ada janji dengan Mirim, Chloe, dan Ben, teman-teman USS yang juga sedang ada di Brussels, untuk bertemu di Starbucks Gare Centrale. Ben yang sudah lebih lama bermalam di Brussels otomatis menjadi pemandu kami. Sebagai satu-satunya cowok di kelompok kami, dia membuktikan teori man, spatial ability & sense of direction-nya dengan sebentar-sebentar bilang this way ... this way... sambil melangkahkan kaki tanpa ragu di jalanan Brussels yang menurut saya membosankan mirip satu sama lain: jalan sempit dikelilingi gedung-gedung tua nan tinggi & rawan bikin kesasar. Objek wisata yang ditawarkan Brussels pun menurut saya tidak terlalu menarik. Bagi saya Grand Place (Grote Markt), maaf, biasa saja :p Manneken Pis yang jadi simbol kebanggaan kota ini pun tidak terlalu mengesankan. Saya sudah mendengar sih kalau banyak yang kecele dengan ukurannya, tetapi saya juga nggak menyangka kalau Manneken Pis memang sekecil 'itu' :p

overrated size Manneken Pis (wikipedia.org)

Jeanneke Pis (1985), a counterpoint in gender terms to Manneken Pis (bruselas.net)

yaestaellista.com

4. Puas melihat-lihat Grand Place, kami memutuskan untuk makan malam di gang sekitar Grand Place. Kebingungan memilih restoran yang menawarkan menu yang mirip-mirip, kami akhirnya memilih sebuah restoran yang menawarkan paket dengan harga paling terjangkau: 12 Euro/paket komplet dari appetizer, main course, dessert, sampai minuman. Meskipun berlima kami hanya memesan tiga paket dan sepertinya itu pilihan yang salah karena selama memesan dan makan kok kami jadi dilayani dengan tidak begitu baik: pelayan yang tak segera mengerti apa pesanan kami, pesanan yang tak kunjung datang, begitu pesanan datang pun pelayan menyampaikan dengan cara yang tidak begitu menyenangkan--sedikit menggebrak meja, senggal-senggol alat makan, dan tanpa senyum atau sekadar berbasa-basi mengucapkan smakelijk eten/bon appetit. Kami berlima sampai menelaah lebih lanjut kenapa kami diperlakukan seperti ini. Apakah karena: (a) Kami berlima tapi kok cuma memesan tiga paket, (b) Kami orang Asia, rrrr atau (c) Memang budaya mereka tidak menempatkan pembeli sebagai raja. Yang mana pun jawabannya, kesan dari restoran itu cuma satu: marmos. Marai emosi :-S


Semarmos apa pun Kota Brussels untunglah ada beberapa fakta kecil yang sedikit memberikan poin positif, misalnya:

1. Makanan di sini enak-enak, lebih cocok di lidah saya daripada yang ada di Belanda :p Waffle-nya (1,8 Euro) hangat dan lezat, manisnya pas. Cokelatnya juga enak, manisnya lain, nggak bikin eneg. Konon cokelat Belgia adalah cokelat terlezat di dunia, satu peringkat di atas cokelat Swiss. Hidangan dari restoran menyebalkan itu pun sebenarnya enak-enak. Sayangnya saya kelupaan nggak ngicip kentang goreng di sini :-S

The most delicious chocolate in the world?

2. Harga kartu pos di sini paling murah dibandingkan dengan di Belanda dan Perancis! Ini jelas poin penting bagi kolektor kartu pos kayak saya :p Saya sudah bisa membawa 12 kartu pos hanya dengan membayar 3 Euro, hampir sama dengan harga kartu pos di Indonesia. Di Belanda dan Perancis, dengan 3 Euro saya hanya dapat sekitar 3 kartu pos saja :-S Selain murah, beberapa kartu pos di Brussels juga bertema, mmmm ... 'unik' :|

3. Beruntung kami mendapatkan hostel yang sangat nyaman. Letaknya cukup strategis (dekat Stasiun Rogier). Dengan membayar 33 Euro per orang per malam, kami mendapatkan kamar twin private yang nyaman lengkap dengan kamar mandi yang cukup luas dan bersih. Sesuai namanya, Sleep Well, saya bisa tidur nyenyak di hostel ini baik saat siang (istirahat sebelum bertemu Mirim dkk.) maupun malam. Para pegawainya baek2 dan yang paling saya suka dari hostel ini adalah: ADA LIFT! (Fasilitas yang bakal saya rindukan di hostel-hostel saya selanjutnya -_-") Paginya kami juga mendapat sarapan yang enak sebagai bekal kekuatan untuk melanjutkan perjalanan ke Paris.

Sleep Well Hostel

Check out dari hostel dengan perut kenyang keesokan harinya membuat suasana hati saya cukup membaik. Rasanya Brussels nggak jelek-jelek amat lah. Dengan langkah ringan saya berjalan dari hostel ke Stasiun Rogier untuk selanjutnya menaiki metro tujuan Gare du Midi dan dari sana lanjut naik Thalys ke Kota Paris. Memasuki lorong Stasiun Roger yang kusam, semrawut dengan kabel dan bahan bangunan berserakan sehingga memberi kesan 'belum jadi' membuat suasana hati saya mulai berubah. Dan puncaknya adalah sewaktu ... ciittt ciittt kress ...

OH. 

MY. 

GOD. 

Sepatu saya nginjek tikuuuuusssssssssssss!! Saya langsung teriak histeris dan lari terjijik-jijik. Dua orang cewek yang lagi jalan di situ plus Geges sampai kebingungan saya itu kenapa. Melihat sedikit noda darah di sepatu saya, saya jadi kasihan sama si tikus. Biasanya saya tipe orang yang nggak tegaan sama hewan, tapi untuk kali itu nggak ngerti deh nasib tikus yang lagi jalan-jalan santai kemudian saya injek itu gimana. Saya nggak berani nengokin. Maaf ya, Kus T_T Dan untuk kamu, Brussels, sepertinya saya trauma mengunjungimu lagi. Kamu sudah tidak tertolong. There must be something wrong with youuuu x(

Really? -_-"

Friday, September 02, 2011

USS'11 - C 43

Selamat dini hari dari Nogosaren Lor!

Ke mana saja selama ini, Titish??? Huhuhu, maafkeun sudah lama menghilang tanpa kabar. Jujur, selama summer school saya cukup kesulitan mencari waktu untuk menulis karena aktivitas lumayan padat. Begitu ada waktu (semasa extend di Brussels & Paris), giliran internet yang susah dicari. Berhubung sudah pulang ke Indonesia lagi dengan keleluasaan waktu & koneksi, juga sudah Idul Fitri (hubungannya??), saya usahakan akan mulai rajin menulis lagi. Mumpung ingatan-ingatan akan berbagai peristiwa di sana juga masih menempel di kepala :)

Utopian vs Dystopian

Karena sudah menyinggung padatnya aktivitas summer school di sana, blog ini akan mulai saya tulisi lagi dengan cerita mengenai kelas yang saya ambil, Dutch Culture: Society & Current Issues. Hari pertama dimulai dengan gambaran umum perspektif masyarakat internasional terhadap negara Belanda. Berhubung kelas internasional, Maarten--sang instruktur--tinggal menanyai kami yang berasal dari negara yang berbeda-beda ini secara acak mengenai apa yang kami pikirkan pertama kali tentang Belanda. Tulip, cheese, Gay Parade, windmill, Red Light District adalah beberapa jawaban yang terkumpul dari sekian banyak sudut pandang negara. Jawaban yang bermacam-macam itu rupanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hal-hal yang terdengar baik dan menyenangkan (utopian) dan hal-hal yang terkesan buruk dan jelek (dystopian). Dari koleksi kartu pos Belanda saya berikut pun seharusnya saya sudah bisa melihat hal ini:

international image (utopian)

vs

international image (dystopian)

Dengan materi-materi yang secara padat disampaikan selama dua minggu, kami, peserta kelas berkode C 43 yang hampir semuanya merupakan non-Dutch ini jadi lebih memahami Belanda dan berbagai aspeknya: mulai dari love-and-hate-relationship mereka dengan air, kecintaan mereka akan keluarga kerajaan yang sebenarnya nyaris tidak punya kekuasaan, seluk-beluk nasib imigran dan kedudukan Islam di sana,dan tentunya tak lupa membahas lebih mendalam akan sikap permisif mereka terhadap berbagai ethical issue (drugs, prostitution, euthanasia, abortion, same-sex marriage) yang berdampak langsung terhadap pandangan buruk masyarakat internasional kepada negara mereka (dystopian image) tersebut. Mereka berprinsip bahwa daripada berbagai ethical issue itu disikapi oleh masyarakat secara tidak bijak, lebih baik pemerintah turut mengatur dalam bentuk legalisasi yang bertanggung jawab. Forbidden fruits will be eaten anyway.

Photo courtesy of Inne Ongkodjojo

Liburan Berkedok Summer School

No matter what country you are from, you are bound to experience a culture shock. It is as simple as that. In general students will go through three phases: the so-called honeymoon phase, the I-hate-this-country phase and finally the adjustment phase. During the first phase you will probably like and feel excited about everything you see, hear and experience while in the second phase things might suddenly start to annoy you. By that time you might be feeling homesick, you might be missing your home country, family and friends. During the third phase you will acknowledge the cultural differences and see the benefits of living in the Netherlands. At the same time you will hopefully be able to look upon any downsides more objectively. During this phase students are usually better able to reflect on their own cultures (Your Practical Guide to Living in Holland, p.2).

buku imut pemberian NESO

Kalau dihubungkan dengan teori-tiga-fase yang ada di buku yang saya khatamkan ketika menunggu kereta di Stasiun Gambir lebih dari sebulan yang lalu di atas, mengikuti USS ini rasanya seperti mendapat kesempatan untuk merasakan pendidikan di Belanda dengan cara curang. Kenapa curang? Karena masa belajar yang amat singkat sama artinya dengan kegiatan serbapadat, memanfaatkan waktu setiap detiknya untuk mengeksplorasi negara ini sebaik-baiknya. Setiap hari berasa liburan karena rasanya seperti turis yang mendatangi berbagai tempat baru untuk mencoba hal-hal baru. Dua minggu keberadaan saya di sana isinya honeymoon phase semua dan begitu masa summer school saya sudah habis, saya pergi tanpa sempat mengalami I-hate-this-country phase. Belum sempat memasuki masa bersusah-susah saya keburu pulang! :) Curang, bukan? :D Tidak seperti program bachelor atau master, summer school memang dirancang untuk 'memanjakan' para pesertanya. Di USS, misalnya, nyaris setiap hari selalu ada social program yang difasilitasi, seperti ekskursi ke berbagai kota di Belanda, cycling tour, schavenger hunt, poker night, sailing, night canoeing, traditional Dutch picnic, salsa workshop (!), dan masih banyak social program lainnya yang semakin membuat kita bingung "ini kita lagi sekolah atau liburan sih?" :p

Janskerkhof 30, summer school office

Utrecht Summer School merupakan summer school TERBESAR di Eropa yang berdiri pada 1987 sehingga USS tahun 2011 yang saya ikuti kemarin adalah USS yang ke-25! Memang kerasa sih kalau penyelenggaranya sudah berpengalaman. Para staf yang ngantor di Janskerkhof 30 sangat suabaarr menghadapi saya yang sering merepotkan: mengurusi refund social program yang jadwalnya bentrok, mengganti coupon booklet lama saya yang sobek-sobek kena tumpahan air mineral dengan yang baru, dan jasa terbesar adalah tempat penitipan koper berhari-hari yang AMAN dan GRATIS selama saya liburan ke Brussels dan Paris! Sepulangnya ke Indonesia pun saya masih rewel via email meralat alamat pengiriman transkip nilai dan responsnya ... whuzz whuzz whuzz ... amat memuaskan.

free entrance museum, discount, etc & yg langsung berguna pada hari pertama: simcard Lebara!

A Goal is a Dream with a Deadline

Mencicipi pendidikan di Belanda dalam waktu singkat membuat saya ingin belajar di sana lagi dalam waktu yang lebih lama. Sekilas mengunjungi Belgia dan Perancis membuat saya semakin yakin untuk tidak berpindah ke negara lain. Yap, meskipun rencana awal saya untuk mengambil master di Belanda melalui HSP gagal karena beasiswa tersebut keburu ditiadakan, mimpi untuk melanjutkan master di sana itu masih ada. Ada yang mau berjuang bersama saya? Yuk, mulai bergerak sekarang juga. Langkah pertama yang tepat untuk semakin mendekatkan diri dengan Belanda menurut saya adalah berkonsultasi dengan NESO Indonesia! :)